Di balik kulitnya yang keras dan warna ungu kehitaman, manggis menyimpan potensi tak ternilai. Bukan cuma soal rasa yang manis dan legit, tapi tentang harapan besar dari tanah tropis yang subur: bahwa buah ini bisa jadi emas, asal dikelola dengan sungguh-sungguh dan disinergikan dari hulu ke hilir.
Harga “optimis” dari buah manggis bukan datang tiba-tiba. Ia adalah hasil dari upaya kolektif menjaga mutu, dari pembibitan hingga pascapanen. Di pasar domestik, apalagi internasional, kepercayaan dibangun dari konsistensi. Pembeli tak hanya beli buah, tapi beli keyakinan bahwa tiap manggis yang dikirim memenuhi standar tinggi.
Manggis memang bukan buah sembarangan. Eksotik, bergengsi, dan bernilai ekspor. Tapi nilai itu akan runtuh jika tak ada jaminan kualitas. Indonesia sebenarnya punya keunggulan dengan iklim, tanah, dan keragaman jenis. Tapi tanpa penanganan yang baik, semua itu bisa lenyap tak bersisa. Justru lewat sistem yang rapi dan mutu yang terjaga, buah-buah Indonesia bisa bersaing di panggung dunia.
Seperti diketahui, nilai jual manggis sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu Kuantitas, Kualitas, dan Kontinuitas. Tiga serangkai ini jadi tolok ukur kepercayaan. Namun sayangnya, ekspor manggis Indonesia masih terbatas. Masalahnya klasik yaitu produksi belum stabil, kualitas masih naik turun, dan pasokan belum terjaga. Inilah tantangan sekaligus peluang.
Petani adalah ujung tombak, tapi mereka butuh bekal lebih dari sekadar cangkul. Peningkatan sumber daya manusia mutlak diperlukan. Petani perlu didorong jadi pelaku utama yang mandiri dan cerdas mengambil keputusan. Caranya? Lewat pendidikan informal, pelatihan, sekolah lapang, magang, dan pengembangan jejaring. Kurikulum pertanian harus adaptif dengan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Petani juga harus menguasai teknik budidaya dan pascapanen yang tepat. Panen sebaiknya dilakukan saat manggis berumur 104–110 hari setelah bunga mekar. Saat itu warna kulit mulai berubah dari hijau ke ungu. Namun warna ini sangat rentan. Pigmen betalain mudah rusak jika terkena cahaya, oksigen, atau air panas. Salah penanganan, bisa membuat buah rusak sebelum sampai tujuan.
Kerusakan mekanis seperti memar atau goresan mempercepat penurunan mutu. Karena itu, Good Handling Practices (GHP) harus benar-benar diterapkan. Proses sortasi dan grading menjadi sangat penting. Buah harus diseleksi berdasarkan ukuran, keutuhan kulit, dan keberadaan getah. Ini bukan sekadar estetika, tapi soal standar perdagangan internasional.
Setelah panen, penyimpanan juga jadi krusial. Biasanya hanya dilakukan 1–2 hari selama proses grading. Tapi untuk ekspor, buah harus bisa bertahan lebih lama. Di sinilah suhu penyimpanan harus dikendalikan. Manggis termasuk buah klimaterik artinya ia terus matang setelah dipanen. Jika panen terlalu matang (sekitar 114 hari), daya simpannya jadi pendek dan mutu cepat turun.
Di luar teknis lapangan, pengembangan jejaring juga sangat penting. Petani perlu membangun kemitraan yang saling menguntungkan. Jejaring ini mencakup lembaga keuangan, promosi, teknologi, hingga pasar. Prinsipnya saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tanpa itu, sulit rasanya membangun ekosistem agribisnis manggis yang kokoh.
Kerja sama harus dimulai dari dalam kelompok tani, dengan aturan yang jelas dan kesepakatan tertulis. Komunikasi yang jujur dan timbal balik jadi syarat utama. Dalam proses negosiasi, yang dibutuhkan bukan hanya logika, tapi juga empati. Membaca situasi, memahami reaksi mitra, dan membangun rasa percaya diri jadi kunci keberhasilan.
Negosiasi yang baik menghasilkan kontrak kerja sama yang saling menguntungkan. Tapi agar kerja sama itu langgeng, dibutuhkan transparansi, kesetaraan, dan keterbukaan dalam setiap tahap. Di tengah persaingan usaha yang makin ketat, petani juga harus punya wadah organisasi atau asosiasi yang kuat. Dengan begitu, mereka bisa bersinergi, saling menguatkan, dan menghadapi persaingan luar dengan kepala tegak.
Persaingan yang sehat mendorong efisiensi, bukan saling sikut. Tata guna lahan harus diatur agar sesuai peruntukan, dan sumber daya alam tidak dieksploitasi berlebihan. Kolaborasi antarpelaku agribisnis bukan hanya soal berbagi lahan, tapi berbagi visi untuk menciptakan sentra manggis yang berkelanjutan dan mampu menembus pasar dunia. Di sinilah, langkah demi langkah, manggis benar-benar bisa berubah menjadi emas.
Penulis: Ricky Feryadi
Penyuluh Pertanian Pusat
REDAKSI
Tentang KamiKontak