Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa kita harus swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya kabinet merah putih menargetkan swasembada pangan (sebut beras) asalnya tahun 2029 dipercepat menjadi tahun 2027. Bahkan mulai 2025 ini kita semua bertekad untuk tidak impor jagung pakan, beras, gula, dan garam konsumsi, demikian Menko Zulhas menyampaikan beberapa waktu lalu.
Arahan presiden tersebut di atas erat kaitannya dengan kondisi perberasan Indonesia saat ini, dimana impor beras naik signifikan sejak tahun 2022 hingga 2024. Kondisi memprihatinkan ini tidak boleh berlangsung terlalu lama dan harus dihentikan. Caranya tidak lain adalah kita harus genjot produksi pangan nasional, terutama beras sebagai makanan pokok kita. Menurut catatan penulis, Presiden telah mengeluarkan lebih dari 10 kebijakan untuk mencapai target swasembada pangan. Termasuk beberapa hari lalu Presiden telah menandatangani 4 aturan baru, yaitu: (1) Inpres sistem irigasi nasional, (2) Perpres tentang neraca komoditas, (3) Perpres menyangkut pupuk, dan (4) Inpres tentang penyuluhan.
Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya menghitung produksi padi (ton) = produktivitas (t/ha) x luas panen (ha). Estimasi produktivitas menggunakan metode survei ubinan, sedangkan estimasi luas panen dengan metode kerangka sampling area (KSA). Berdasarkan formula tersebut maka peningkatan produksi bisa dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan luas panen. Selanjutnya faktor produktivitas dan luas panen ditentukan oleh seabreg peubah yang satu sama lain saling terkait.
Produktivitas ditentukan oleh peubah sarana dan prasarana dan inovasi teknologi, peraturan perundangan, dan sumberdaya manusia pertanian. Sejak jaman revolusi hijau atau pasca perang dunia II, inovasi teknologi yang berhasil mengungkit produktivitas adalah varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan belakangan adalah pemanfaatan alsintan dan smart farming termasuk di dalamnya Internet of Thing. Saat Presiden Soeharto berhasil mencapai swasembada pangan tahun 1984, telah terjadi peningkatan produktivitas dan produksi padi nasional yang sangat signifikan. Dari tahun 1970 (awal program Bimas/Inmas) ke tahun 1985 (swasembada), peningkatan produktivitas mencapai sekitar 160% dan peningkatan produksi lebih dari 200%. Namun demikian sejak tahun 1995 hingga kini, produktivitas dan produksi padi nasional sedikit fluktuatif, tetapi secara umum relatif stagnan.
Banyak teman sejawat bertanya kepada penulis, kenapa Thailand dan Vietnam lahannya sedikit tapi bisa ekspor beras, sedangkan Indonesia kok impor beras terus-terusan?. Sungguh pertanyaan yang sangat menggelitik dan nampaknya publik menunggu jawaban clear dari pihak yang berwenang. Luas sawah baku Thailand dan Vietnam memang jauh di bawah Indonesia, yaitu berturut-turut 6,42 juta dan 4,59 juta ha, sedangkan Indonesia 7,46 juta ha. Demikian pula produktivitas padi Thailand hanya 3,09 t/ha GKG masih di bawah Indonesia 5,19 t/ha GKG, sedangkan Vietnam diatas kita 5,82 t/ha GKG. Indonesia dengan jumlah penduduk 274 jt jiwa, konsumsi 119 kg/org/th memerlukan beras sekitar 32,5 jt t/th sedangkan produksi hanya sekitar 31,5 jt t/th, sehingga defisit beras sekitar 1 jt t/th, belum termasuk cadangan beras pemerintah (CBP) sekitar 2,5 jt t/th. Sedangkan Thailand jumlah penduduknya hanya sekitar 70 jt orang, konsumsi beras 90 kg/org/th memerlukan beras hanya sekitar 6,3 jt t/th sedangkan prroduksi 20,1 jt t/th, sehingga surplus beras sekitar 13,8 jt t/th. Demikian pula Vietnam jumlah penduduknya hanya 97 jt jiwa, konsumsi beras hanya 83 kg/org/th memerlukan beras sekitar 8,1 jt t/th sedangkan produksi sekitar 27,2 jt t/th, sehingga surplus beras sekitar 19,1 jt t/th.
Rasio lahan sawah terhadap jumlah penduduk Indonesia hanya 0,027 ha/org, Thailand sangat tinggi 0,092 ha/org (lebih 3 kali lipat Indonesia), sedangkan Vietnam juga tinggi 0,047 ha/org (hampir 2 kali lipat Indonesia). Tampak bahwa rasio lahan sawah terhadap jumlah penduduk di Indonesia yang sangat rendah merupakan peubah yang berkontribusi signifikan terhadap neraca beras nasional yang sering membuat ”gaduh” kita. Selain itu peubah konsumsi beras (119 kg/org/th) kita ternyata termasuk tertinggi di Asia, bandingkan dengan negara Jepang yang hanya 60 kg/org/th. Jelaslah bahwa luas sawah baku dan pola konsumsi masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah bila kita ingin swasembada pangan secara berkelanjutan.
Selain berbagai terobosan, seperti: tambah alokasi pupuk subsidi 2 kali lipat menjadi 9,55 jt t/th, pompanisasi, optimasi lahan rawa, brigade pangan, pertanian moderen, Kementan juga bertekad untuk mencetak sawah baru 3 jt ha hingga 2029. Cetak sawah baru yang relatif luas, terutama dilaksanakan di kalimantan Selatan dan Papua Selatan. Kebijakan ini dirasakan sangat tepat dengan pertimbangan agar rasio lahan sawah terhadap jumlah penduduk meningkat secara signifikan. Memang benar, cetak sawah baru adalah suatu keniscayaan bila kita ingin swasembada beras berkelanjutan (D. Nursyamsi, I. Sariati, dan A. Susilawati).
REDAKSI
Tentang KamiKontak